Peran Perempuan dalam PAUD
BICARA soal perempuan, yang
terekam dalam benak siapa pun, termasuk di benak perempuan, adalah
makhluk yang memiliki kelembutan, feminitas, dan sensualitas pemicu
libido seksual kaum maskulin.
Tak ayal, dalam kaitan dengan segala komoditas, baik produk perlengkapan
rumah tangga, elektronik, automotif, maupun produk kecantikan,
perempuan jadi simbol hasrat pasar. Sekalipun produk itu tak berhubungan
dengan feminitas, perempuan terkadang tetap diasosiasikan sebagai
pemantik selera konsumen (pasar).
Produk telepon seluler yang semestinya tak berhubungan dengan
sensualitas perempuan, misalnya, toh tetap diiklankan lewat kemolekan
tubuh perempuan. Bahkan berkesan kemanfaatan produk itu tak semenarik
keindahan dan feminitas tubuh perempuan. Pertandingan tinju pun tanpa
wanita seksi, tak menarik dinikmati oleh para pejudi.
Kelebihan perempuan yang tak dimiliki kaum lelaki dimanfaatkan oleh
siapa pun, baik oleh perempuan maupun lelaki. Pemilik modal pun getol
mengeksploitasi makhluk Tuhan paling seksi itu.
Tak Mengubah
Meski gerakan perempuan mengaktualisasikan persamaan gender lewat
gerakan revolusioner sekalipun, sebenarnya tak mampu mengubah pandangan
perempuan sebagai kaum “lemah” yang lazim diperebutkan, dipertaruhkan,
dieksploitasi. Itu dapat dicermati dari perlakuan terhadap perempuan
sejak zaman primitif sampai zaman beradab, dari zaman penjajahan sampai
zaman kemerdekaan.
Kelebihan perempuan yang tak pernah dimiliki lelaki, seperti penyabar,
keibuan, telaten, manut, nurut, dan tahan uji ternyata dapat diwujudkan
untuk mengembangkan profesi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Ya,
perempuan-perempuan cerdas itu memanfaatkan kelebihan, tanpa
mempertontonkan kemontokan dan kemolekan tubuh, untuk melakukan sesuatu.
Lihat saja kemerebakan pendidikan anak usia dini (PAUD), play group,
kelompok bermain, raudlatul atfal yang merupakan kecerdasan perempuan
dalam memanfaatkan kelebihan. Dari sekian lembaga pendidikan yang tak
masuk peta pendidikan dasar di Indonesia itu, perempuan yang terlibat
90% lebih. Apalagi tenaga pengajar hampir 99% perempuan. Di Kecamatan
Gunungpati, Kota Semarang, misalnya, tak satu pun lelaki pengajar TK.
Namun benarkah para perempuan itu menjalani profesi tersebut berdasar
kesadaran betapa penting pendidikan anak usia dini? Atau, sekadar
mencari kesibukan?
Ana Indarti, guru TK Pertiwi Kalisegoro, Gunungpati, menyatakan
menjalani profesi itu karena prihatin anak-anak tak memperoleh
pendidikan memadai pada usia emas.
Anak yang masih memerlukan pendidikan dan bimbingan pada usia emas itu
butuh bermain, belajar, mengembangkan kecerdasan, tanpa bimbingan orang
tua. Anak acap diperlakukan sebagai orang dewasa mini: mampu berbuat dan
mengembangkan potensi, dan mengambil keputusan sendiri. Sementara,
kedua orang tua mereka sibuk bekerja.
Teman sejawatnya, Juwariyah AMa, menyatakan perkembangan kecerdasan anak
yang pesat terjadi sejak anak baru lahir sampai usia lima tahun. Jadi
anak-anak perlu pendidikan yang tepat pada masa emas.
“Dr Keith Osborn mengemukakan, kreativitas anak meningkat pada usia tiga
tahun dan mencapai puncak pada usia empat setengah tahun. Hampir 50%
potensi kecerdasan anak terbentuk pada usia empat, kemudian bertahap
mencapai 80% pada usia delapan tahun,” katanya.
Peluang Menjanjikan
Mengapa lelaki tak mengambil peran untuk memberikan pendidikan pada anak
pada usia emas itu sebagai peluang usaha yang menjanjikan? Misalnya,
mendirikan PAUD atau menciptakan sarana bermain dan peluang usaha lain.
Lelaki memang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak sebagai tenaga
pengajar PAUD. Sebab, lelaki tak mampu menandingi kelebihan perempuan
yang mempunya sifat keibuan dengan berbagai kemampuan lain yang melekat.
Tanpa mengedepankan keindahan tubuh, perempuan tetap mampu berbuat
untuk diri sendiri dan orang lain. Sementara dengan keper-kasaan mereka,
lelaki tak mampu melakoni semua itu.
Benarkah lelaki tak mampu? Meski tak banyak, ada pula lelaki yang jadi
tenaga pengajar di TK dan sejenisnya. Mengapa tak banyak? Sebab, menjadi
pengajar di PAUD memang tak menjanjikan.
Di tengah kehidupan yang cenderung hedonistis ini, hanya perempuan
pengabdi yang mampu melakukan. Perempuan yang mengubah nalar: dari
perempuan yang selalu memanfaatkan keindahan tubuh sebagai sarana
menguasai (dan dikuasi) pasar menjadi perempuan pengabdi kemanusiaan.
Benarkah perempuan telah berafirmasi di wilayah yang tak mengedepankan
(semangat) feminisme untuk melakukan sesuatu, tetapi lebih ke wilayah
pengabdian pada bangsa? Manusia yang lebih mementingkan hidup bukan
sekadar materi sebagai wujud keberhasilan hidup, melainkan mengimani
hidup lebih peduli.
Absurd memang. Di tengah keglamoran dunia, dengan keserbamewahan, hidup
hanya didasari materi dan ketinggian nilai konsumtif, para pe-rempuan
itu tetap menjadi sosok pengabdi.
Tak Seimbang
Benarkah pemerintah dengan segala kebijakan, pemilik yayasan dengan
segala keterbukaan, wali murid dengan keikhlasan, tak mampu
menyejahterakan tenaga pengajar PAUD? Para perempuan itu tak pernah
memikirkan, meski sebenarnya mengharap. Pekerjaan yang mereka lakukan
dengan kemuliaan itu tak seimbang dengan rupiah yang mereka peroleh.
Betapa tidak?
Jadi guru PAUD secara profesional memang tak menjanjikan. Pendidikan
PAUD yang belum masuk lembaga pendidikan formal merupakan indikasi
kesuraman masa depan para perempuan pengabdi itu dalam soal penghasilan.
Dengan rupiah tak seberapa, jauh dari upah minimum regional (UMR),
mereka harus sabar mengajar, rapi berdandan, luwes bergaul, contoh bagi
masyarakat. Semua itu harus mereka lakukan secara profesional.
Itulah masa depan yang belum berkejelasan arah, karena tak ada jaminan
kesejahteraan. Sebab, tak ada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
yang mewajibkan anak bersekolah di taman kanak-kanak.
Ya, perempuan memang lemah. Namun mereka kuat dalam cara pandang di
tengah penyudutan sebagai makhluk yang dimanfaatkan pasar. Para ibu
itulah, lewat pendidikan informal (rumah), pendidikan yang pertama dan
utama, yang berperan penting dalam perkembangan generasi penerus. Tanpa
perempuan, sungguh kehidupan menjadi tak bermakna. (51)