Minggu, 20 Mei 2012

Peran Perempuan dalam PAUD
  • Oleh : Inten Rahmasari
 0
 0
BICARA soal perempuan, yang terekam dalam benak siapa pun, termasuk di benak perempuan, adalah makhluk yang memiliki kelembutan, feminitas, dan sensualitas pemicu libido seksual kaum maskulin.

Tak ayal, dalam kaitan dengan segala komoditas, baik produk perlengkapan rumah tangga, elektronik, automotif, maupun produk kecantikan, perempuan jadi simbol hasrat pasar. Sekalipun produk itu tak berhubungan dengan feminitas, perempuan terkadang tetap diasosiasikan sebagai pemantik selera konsumen (pasar).

Produk telepon seluler yang semestinya tak berhubungan dengan sensualitas perempuan, misalnya, toh tetap diiklankan lewat kemolekan tubuh perempuan. Bahkan berkesan kemanfaatan produk itu tak semenarik keindahan dan feminitas tubuh perempuan. Pertandingan tinju pun tanpa wanita seksi, tak menarik dinikmati oleh para pejudi.

Kelebihan perempuan yang tak dimiliki kaum lelaki dimanfaatkan oleh siapa pun, baik oleh perempuan maupun lelaki. Pemilik modal pun getol mengeksploitasi makhluk Tuhan paling seksi itu.

Tak Mengubah

Meski gerakan perempuan mengaktualisasikan persamaan gender lewat gerakan revolusioner sekalipun, sebenarnya tak mampu mengubah pandangan perempuan sebagai kaum “lemah” yang lazim diperebutkan, dipertaruhkan, dieksploitasi. Itu dapat dicermati dari perlakuan terhadap perempuan sejak zaman primitif sampai zaman beradab, dari zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan.

Kelebihan perempuan yang tak pernah dimiliki lelaki, seperti penyabar, keibuan, telaten, manut, nurut, dan tahan uji ternyata dapat diwujudkan untuk mengembangkan profesi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Ya, perempuan-perempuan cerdas itu memanfaatkan kelebihan, tanpa mempertontonkan kemontokan dan kemolekan tubuh, untuk melakukan sesuatu.

Lihat saja kemerebakan pendidikan anak usia dini (PAUD), play group, kelompok bermain, raudlatul atfal yang merupakan kecerdasan perempuan dalam memanfaatkan kelebihan. Dari sekian lembaga pendidikan yang tak masuk peta pendidikan dasar di Indonesia itu, perempuan yang terlibat 90% lebih. Apalagi tenaga pengajar hampir 99% perempuan. Di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, misalnya, tak satu pun lelaki pengajar TK.

Namun benarkah para perempuan itu menjalani profesi tersebut berdasar kesadaran betapa penting pendidikan anak usia dini? Atau, sekadar mencari kesibukan?
Ana Indarti, guru TK Pertiwi Kalisegoro, Gunungpati, menyatakan menjalani profesi itu karena prihatin anak-anak tak memperoleh pendidikan memadai pada usia emas.

Anak yang masih memerlukan pendidikan dan bimbingan pada usia emas itu butuh bermain, belajar, mengembangkan kecerdasan, tanpa bimbingan orang tua. Anak acap diperlakukan sebagai orang dewasa mini: mampu berbuat dan mengembangkan potensi, dan mengambil keputusan sendiri. Sementara, kedua orang tua mereka sibuk bekerja.

Teman sejawatnya, Juwariyah AMa, menyatakan perkembangan kecerdasan anak yang pesat terjadi sejak anak baru lahir sampai usia lima tahun. Jadi anak-anak perlu pendidikan yang tepat pada masa emas.

“Dr Keith Osborn mengemukakan, kreativitas anak meningkat pada usia tiga tahun dan mencapai puncak pada usia empat setengah tahun. Hampir 50% potensi kecerdasan anak terbentuk pada usia empat, kemudian bertahap mencapai 80% pada usia delapan tahun,” katanya.

Peluang Menjanjikan

Mengapa lelaki tak mengambil peran untuk memberikan pendidikan pada anak pada usia emas itu sebagai peluang usaha yang menjanjikan? Misalnya, mendirikan PAUD atau menciptakan sarana bermain dan peluang usaha lain.

Lelaki memang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak sebagai tenaga pengajar PAUD. Sebab, lelaki tak mampu menandingi kelebihan perempuan yang mempunya sifat keibuan dengan berbagai kemampuan lain yang melekat. Tanpa mengedepankan keindahan tubuh, perempuan tetap mampu berbuat untuk diri sendiri dan orang lain. Sementara dengan keper-kasaan mereka, lelaki tak mampu melakoni semua itu.

Benarkah lelaki tak mampu? Meski tak banyak, ada pula lelaki yang jadi tenaga pengajar di TK dan sejenisnya. Mengapa tak banyak? Sebab, menjadi pengajar di PAUD memang tak menjanjikan.

Di tengah kehidupan yang cenderung hedonistis ini, hanya perempuan pengabdi yang mampu melakukan. Perempuan yang mengubah nalar: dari perempuan yang selalu memanfaatkan keindahan tubuh sebagai sarana menguasai (dan dikuasi) pasar menjadi perempuan pengabdi kemanusiaan.

Benarkah perempuan telah berafirmasi di wilayah yang tak mengedepankan (semangat) feminisme untuk melakukan sesuatu, tetapi lebih ke wilayah pengabdian pada bangsa? Manusia yang lebih mementingkan hidup bukan sekadar materi sebagai wujud keberhasilan hidup, melainkan mengimani hidup lebih peduli.

Absurd memang. Di tengah keglamoran dunia, dengan keserbamewahan, hidup hanya didasari materi dan ketinggian nilai konsumtif, para pe-rempuan itu tetap menjadi sosok pengabdi.

Tak Seimbang

Benarkah pemerintah dengan segala kebijakan, pemilik yayasan dengan segala keterbukaan, wali murid dengan keikhlasan, tak mampu menyejahterakan tenaga pengajar PAUD? Para perempuan itu tak pernah memikirkan, meski sebenarnya mengharap. Pekerjaan yang mereka lakukan dengan kemuliaan itu tak seimbang dengan rupiah yang mereka peroleh. Betapa tidak?

Jadi guru PAUD secara profesional memang tak menjanjikan. Pendidikan PAUD yang belum masuk lembaga pendidikan formal merupakan indikasi kesuraman masa depan para perempuan pengabdi itu dalam soal penghasilan.

Dengan rupiah tak seberapa, jauh dari upah minimum regional (UMR), mereka harus sabar mengajar, rapi berdandan, luwes bergaul, contoh bagi masyarakat. Semua itu harus mereka lakukan secara profesional.

Itulah masa depan yang belum berkejelasan arah, karena tak ada jaminan kesejahteraan. Sebab, tak ada kebijakan pemerintah di bidang  pendidikan yang mewajibkan anak bersekolah di taman kanak-kanak.

Ya, perempuan memang lemah. Namun mereka kuat dalam cara pandang di tengah penyudutan sebagai makhluk yang dimanfaatkan pasar.  Para ibu itulah, lewat pendidikan informal (rumah), pendidikan yang pertama dan utama, yang berperan penting dalam perkembangan generasi penerus. Tanpa perempuan, sungguh kehidupan menjadi tak bermakna. (51)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar