Jumat, 18 Mei 2012

TEKONOLOGI UNTUK PENDIDIKAN

Teknologi untuk Pendidikan


  • inten rahmasari

KINI, penerapan teknologi untuk pendidikan sudah sangat mendesak. Sekolah bertanggung jawab mempersiapkan anak didik memasuki era globalisasi untuk menghadapi tantangan yang berubah sangat cepat. Salah satu tantangan yang dihadapi siswa adalah menjadi lulusan (pekerja) yang lebih bermutu.

Penyiapan lulusan menjadi pekerja bermutu sangat penting. Mengingat, hanya 30% lulusan SMA di negeri ini yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Selebihnya jadi pekerja. Sebagian lulusan yang tak melanjutkan pendidikan semestinya mendapat bekal penguasaan teknologi memadai, tanpa mengesampingkan lulusan yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Pemanfaatan teknologi untuk proses pembelajaran di sekolah perlu. Sebab, yang terpenting dalam reformasi pendidikan bukan kemampuan menggunakan teknologi, melainkan lebih pada kemampuan membangun inovasi dan kreativitas menghadapi masa depan yang lebih kompetitif secara global.

Membangun kreativitas anak didik dalam proses pembelajaran, baik di kelas maupun luar kelas, hanya dapat dilakukan para guru kreatif. Bukan guru yang cuma dapat menggunakan peralatan berteknologi canggih.

Salah Kaprah

Selama ini penggunaan teknologi di dunia pendidikan lebih identik dengan komputerisasi. Bahkan muncul anggapan, belajar yang paling baik adalah lewat internet. Sebab, muncul asumsi melalui internet, siswa mampu mengakses berbagai ilmu pengetahuan. Banyak guru pula memberikan tugas lewat internet.

Namun terkadang kita tak menyadari, di balik kecanggihan internet, siswa dapat terjerumus menghadapi banjir informasi yang lebih kejam dalam membunuh karakter dan kepribadian anak. Lihat, betapa mudah kita mengakses foto bugil dan film porno dari internet.

Betapa sekarang para guru tak terkejut jika membaca berita di Kompas.com bahwa seorang siswa SD di Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, mengakui menyisihkan uang jajan setiap hari untuk bermain game online di warnet selama satu jam penuh. Sehari saja tak pergi ke internet, dia pusing. Bahkan anak itu sekarang sudah tak lagi jajan di sekolah. Dia sudah kecanduan internet, sehingga cenderung malas belajar.

Apakah dia hanya bermain game online? Bagaimana dengan siswa dan anak-anak kita? Apakah kita yakin mereka belum melihat video porno Luna Maya-Ariel-Cut Tari atau film porno yang lain? Padahal, mereka baru duduk di bangku SD atau SMP bukan?

Kesalahpahaman penggunaan teknologi itu muncul lebih karena pemasaran dari bisnis tertentu oleh orang-orang dengan kepentingan tersendiri. Atau, kita banding-bandingkan dengan pendidikan di luar negeri yang bermutu. Namun, bagaimana dengan negara kita yang masih jadi konsummen produk luar negeri? Lihat saja rasio penggunaan komputer untuk siswa, yakni satu komputer untuk 2.000 orang. Jelaslah pembelajaran dengan komputer dan e-learning bukan pemecahan.

Pembelajaran bukan upaya mengejar sebanyak-banyak materi yang dapat diberikan kepada siswa atau kemampuan menggunakan teknologi canggih. Namun, bagaimana meningkatkan mutu proses pembelajaran. Pembelajaran praktik, terutama di sekolah dasar, adalah pilihan bijak. Teknologi canggih hanya sebagian dari teknologi untuk menciptakan proses pembelajaran yang bermutu.

Di negara maju pun tidak selamanya proses pembelajaran menggunakan teknologi canggih. Guru-guru di Jepang, misalnya, masih menggunakan teknologi seperti realitas (barang asli) yang sederhana. Dulu, mereka mengajarkan bahasa dengan komputer “call”.

Namun kini mereka menggantikan dengan bahan dari kertas. Guru memanipulasi bahan menjadi peraga yang dapat meningkatkan imajinasi sebagai media pembelajaran paling efektif.

Penggunaan teknologi sesederhana mungkin jauh lebih efektif untuk membangun kreativitas siswa. Penggunaan teknologi canggih justru membuat siswa pasif dalam belajar karena hanya disuapi. Teknologi canggih seperti komputer sebenarnya akan merendahkan mutu pendidikan jika diposisikan sebagai satu-satunya alat.

Pembelajaran aktif seperti e-learning yang hanya mengajak siswa memanipulasi mouse sambil berkomunikasi dan nonton layar monitor akan membunuh kreativitas karena outcome-nya sangat ditentukan.

Tugas Guru

Tantangan bagi dunia pendidikan saat ini adalah meningkatkan kemampuan guru untuk melakukan pembelajaran aktif. Bukan menyiapkan guru yang mampu mengoperasikan peranti berteknologi canggih.

Perubahan itu harus terus dilakukan oleh jajaran pendidikan. Di mana siswa belajar? Siswa mampu berpikir kreatif, reflektif, bahkan menghayati topik yang dipelajari. Anak mampu memikirkan pikiran mereka sendiri dalam cakupan pertanyaan lebih luas dan tak hanya berkait dengan aspek kognitif.

Penerapan teknologi di dunia pendidikan perlu diintegrasikan dalam perencanaan semua aspek pengembangan secara seimbang.

Penyediaan teknologi bukan semata-mata proyek pengadaan barang, yang setelah terbeli menjadi barang inventaris sekolah sebagai pelengkap akreditasi.

Pemecahan terbaik adalah menciptakan guru kreatif yang mampu mengajarkan ilmu sains roket hanya dengan whiteboard maker sebagai alat peraga. Atau, mengajar tentang alat komunikasi telepon dengan dua kaleng yang dilubangi untuk mengaitkan dua utas benang yang berhubungan sebagai peraga komunikasi di sekolah dasar. Guru tak hanya menggantungkan pembelajaran dengan menonton film animasi untuk menjelaskan materi itu.

Pertanyaannya, apakah guru yang mampu mengajarkan perihal alat transportasi modern dengan kayu yang dibentuk seperti mobil dengan roda dari sandal jepit bekas adalah guru gagap teknologi (gaptek)? Apakah guru yang mengajarkan cerita rakyat dengan peraga wayang alang-alang ketinggalan zaman? Bukankah teknologi sederhana dan bentuk apa pun dapat digunakan selama dapat meningkatkan kreativitas siswa? (51)

-INTEN RAHMASARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar